Sedikitnya 2.000 pria, wanita dan anak-anak dilaporkan berkemah di empat lokasi terpisah di tepi Sungai Moei Myanmar.
Ribuan penduduk desa Myanmar telah terpaksa tinggal di tenda darurat di sepanjang sungai yang berbatasan dengan Thailand. Mereka takut untuk kembali ke rumah. Mereka enggan mencari perlindungan di seberang perbatasan padahal rumah mereka telah dibombardir oleh serangan udara militer
Pertempuran sengit antara militer Myanmar dan pejuang perlawanan telah menewaskan atau membuat ribuan warga sipil mengungsi di wilayah ini dan di tempat lain.
Banyak yang telah melarikan diri ke Thailand, tetapi kondisi yang makin memburuk di kamp-kamp pengungsi di Thailand telah mendorong warga Myanmar untuk kembali ke sudut perbatasan Myanmar. Para aktivis hak asasi manusia telah meminta lebih banyak bantuan untuk para pengungsi.
Wartawan kantor berita Reuters di tepi Sungai Moei Thailand pada hari Jumat (07/01/2022) melihat sekitar 2.000 pria, wanita dan anak-anak tinggal di terpal di tepi seberang di empat lokasi terpisah.
Seorang wanita dari kamp, Sabal Phyu, 42, telah melintasi perbatasan untuk mengumpulkan sumbangan makanan dan air minum kemasan, sebelum akhirnya kembali ke tepi Sungai Myanmar.
“Di sana, kami menerima sumbangan bantuan tetapi sangat berdesakkan dan sulit untuk tinggal. Di sini, kami memiliki lebih banyak kebebasan,” kata Sabal Phyu kepada Reuters.
Sabal Phyu mengatakan dirinya awalnya menyeberang ke Thailand dengan suami dan empat anaknya tetapi kembali ke daerah perbatasan setelah dimasukkan ke dalam kandang ternak kosong dengan pengungsi lain di dekat kota Mae Sot, Thailand.
Menurut Komite Palang Merah Internasional, sekitar 8.000 pengungsi Myanmar tinggal di tempat penampungan sementara di Thailand.
Seorang juru bicara pemerintah militer Myanmar tidak menjawab telepon dari Reuters yang meminta komentar.