Oleh: Prof. Dr. Hamka Haq, MA
Tidak dapat dipungkiri bahwa masih ada sebagian masyarakat Muslim yang masih sangat kuat sikap eksklusifitasnya, sehingga sangat sulit menerima hal-hal yang berbeda dengan komunitasnya.
Secara historis, sikap sebagian warga muslim Indonesia tersebut salah satunya disebabkan karena pengaruh kehidupan zaman kolonial, saat bangsa kita menutup diri dan mempertahankan identitasnya dengan berhadapan dan melawan kolonialis yang berbeda dengannya dari segi ras dan agama.
Warisan Kolonial
Sebagai bangsa yang pernah terjajah, masyarakat kita mudah dilanda rasa cemas dan ketakutan yang berlebihan terhadap pihak lain dan selalu mencurigai hal-hal yang asing baginya.
Sifat-sifat tersebut masih terbawa ke zaman sekarang, zaman di era kemerdekaan. Dimana sebagian mereka sulit menerima perbedaan, terutama jika berkaitan dengan agama.
Misalnya, mereka masih belum rela sepenuhnya bertetangga dengan non Muslim, dengan alasan khawaatir anak-anaknya jadi murtad.
Jangankan bertetangga, menyaksikan tayangan televisi yang berbau non Muslim pun, mereka enggan. Sejak dini anak-anaknya dididik untuk membenci seluruh yang berbeda dengan Islam.
Kaum Kristiani
Yang paling merasakan dampaknya dari sikap tersbeut tentu adalah kaum Kristiani, mungkin karena umat Islam merasa trauma sejak zaman panjajahan.
Kita bisa menyaksikan bagaimana kaum Kristen dipersulit beribadah, apalagi membangun rumah ibadah di lingkungan mayoritas Muslim.
Mereka selalu diintai dan diawasi agar tidak melakukan kebaktian di rumah-rumah, apalagi natalan, dengan alasan bukan rumah ibadah.
Islam dan Toleransi
Sangat kontras dengan bebasnya kaum Muslim melakukan pengajian di rumah-rumah, bahkan ibadah tarwih keliling dari rumah ke rumah.
Padahal salah satu aspek syaraiat Islam yang diwariskan oleh Rasulullah SAW ialah kebebasan beribadah bagi umat agama lain. Nabi Muhammad SAW tidak pernah menghalangi atau melarang umat agama lain untuk melaksanakan ibadahnya.
Walaupun Rasulullah menolak ajakan kaum Musyrikin untuk ikut menyembah berhala mereka, namun beliau tidak melarang pamannya, Abu Thalib, untuk beribadah sesuai dengan warisan jahiliyah leluhurnya.
Hal tersebut menjadi sebab turunnya Surah Al-Kafirun, yang ayatnya berbunyi lakum dinukum wa liya din (bagimu agamamu dan bagiku agamaku).
Ketika Rasulullah SAW berhijrah ke Yatsrib (Madinah), beliau mendapati kaum Yahudi berpuasa Asyurah di bulan Sya’ban, dan bertanya pada mereka: puasa apa gerangan ini?.
Kaum Yahudi menjawab, puasa ini untuk merayakan pembebasan Nabi Musa A.S. bersama bangsa Israel dari penganiayaan Firaun sampai selamat melintasi sungai Nil menyeberang ke gurung Sinai.
Rasulullah SAW menyatakan Ana ahaqqu bi Musa minkum, bahwa aku lebih berhak mengikuti Musa ketimbang kalian (Shahih Bukhariy, juz 3 h. 44, hadits no 2004).
Maka Nabi pun tidak melarang kaum Yahudi meneruskan puasanya, bahkan beliau sendiri memerintahkan umatnya berpuasa Asyurah seperti Yahudi itu.
Pernah pula Rasulullah SAW kedatangan tamu dari umat Kristen Najran sekitar 60 orang, yang diterimanya dalam Masjid Nabawi di Madinah.
Tatkala tamunya itu ingin beribadah, maka Rasulullah SAW mengizinkannya beribadah dalam masjid Nabawi (Tafsir Al-Qurtubi, Juz IV, ha. 4-5).
Hal ini menunjukkan bahwa ibadah umat agama lain tidak boleh dihalangi, bahkan kalau perlu difasilitasi, termasuk mengizinkan mereka beribadah dalam masjid (dalam keadaan darurat), sebagaimana yang dicontohkan oleh Rasululah SAW sendiri.
Riwayat lain menyebut bahwa Imam Ahmad pernah ditanya berkaitan dengan sholat istisqa yang dilaksanakan oleh kaum Muslimin, sementara di tempat yang sama hadir pula umat agama lain beribadah sesuai keyakinannya, maka Imam Ahmad menjawab, la ba`sa bidzalik, boleh-boleh saja hal yang demikian. (Kitab Ahkam Ahli al-Milal, juz I, karya Al-Baghdadi al-Hanbali, riwayat no: 121).
Riwayat ini pun menjelaskan bahwa umat Islam seyogyanya membiarkan umat agama lain berdoa dan beriberibadah sesuai dengan kepercayaannya. Bahkan dapat dikatakan bahwa riwayat ini membolehkan doa bersama umat agama lain, dengan membaca doanya masing-masing.
Muslim Kaffah
Memperhatikan dalil-dalil tersebut yang ditopang oleh realitas historis di zaman Nabi dan sahabat, maka seorang Muslim yang baik, Muslim yang kaffah, seharusnya meneladani perilaku Rasulullah SAW dalam bermuamalah dengan umat agama lain, minimal memberi mereka ruang kebebasan beribadah sesuai ajaran agamanya.
Tidak ada ruginya sedikit pun bagi kita umat Islam dengan sikap toleran terhadap mereka seperti itu.
Dari riwayat-riwayat tersebut di atas, dapat disimpulkan bahwa setiap umat Islam seharusnya tidak mengganggu umat agama lain beribadah dan untuk membangun rumah ibadahnya, bahkan kalau perlu dalam keadaan darurat, memfasilitasi mereka beribadah dalam masjid.
Sepeti itulah ajaran syariat Islam, sebagaimana Rasulullah SAW pernah menyatakan: ahabbu al-din ila Allahi, al-hanafiyat al-samhah, cara beragama yang dicintai Allah ialah yang berlaku lurus dan toleran (Al-Taj al-Jami’ lil Ushul).
Lebih dari itu, dalam berinteraksi sesama anak bangsa, Pancasila dan konstitusi negara kita mejamin kebebasan setiap warga negara untuk menganut agamanya dan beribadah menurut agama dan kepercayaannya itu.
Pokoknya tidak boleh ada diskriminasi antaretnis dan ataragama dalam kehidupan berbangsa, bernegara dan bermasyarakat.
Maka perilaku orang-orang Muslim yang buruk, seperti mengebom gereja-gereja tertentu, terakhir katedral di Makassar tahun lalu, atau mempersulit pendirian gereja di Ciketing, dan membongkar paksa masjid kaum Ahmadiyah di Kalimantan, serta membubarkan acara natal di Bogor dan semacamnya, mencerminkan fanatisme sempit dalam berislam, yang justru mencederai keharuman agama Islam.
Islam yang ajarannya dikenal sebagai rahmatan lil alamin justru dirusak oleh pikiran dan tangan-tangan jahil orang Islam sendiri, yang ironisnya menyebut pula nama Allah di dalam tindakan jahilnya, dengan suara lantang “Allah Akbar”.
Pertanyaan, mengapa perilaku seperti ini lahir di kalangan sebagian Muslim?
Jawabnya, mereka belum bisa melepaskan batinnya dari rasa keterjajahan, batinnya masih berontak terhadap hal-hal yang asing darinya, masih ada rasa tidak senang, cemas dan ketakutan berlebihan, serta curiga terhadap semua pihak yang berbeda dengannya, seperti disebutkan di awal uraian ini. Wallahu a’lam bil showabi.